Kamis, 14 Mei 2015
Rabu, 06 Mei 2015
CATATAN NAJWA - Belajar Dari GusDur
Gus Dur seorang pelintas batas, berbagai sekat ia terabas.
Ia tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori, sebab kiprahnya melintasi berbagai teritori.
Seorang kyai, sekaligus politisi.
Ia penulis, sekaligus aktivis.
Jadi Presiden tak membuatnya terkekang, kekuasaan tak membuat komitmennya berkurang.
Yang minoritas diangkatnya secara terhormat, dilumerkannya berbagai prasangka yang melekat.
Akibatnya Gus Dur sering dihinggapi praduga, padahal dia yang cairkan banyak prasangka.
Tapi dia bisa santai menghadapi tekanan, sebab jabatan baginya bukanlah tujuan.
Sebelum lawan mencemooh dan mengejeknya, Gus Dur lebih dulu menertawakan dirinya.
Humor menjadi jalan pembebasan, dari bujuk rayu kuasa yang menjerumuskan.
Toh hidup hanya menunda kekalahan, santai sajalah dengan kekuasaan.
Dengan itulah Gus Dur jadi amat berbobot, begitu saja kok repot.
Niccolo Machiavelli : Ada Saatnya Kebijaksanaan Terbesar Adalah Berpura-pura Menjadi Bodoh
TAK seorang pun yang pernah memamerkan begitu banyak kecerdasan, atau dianggap sangat bijak dalam menanggapi berbagai macam tindakan, seperti Junius Brutus yang layak dianggap demikian karena kepura-puraannya menjadi bodoh. Dan meskipun Titus Livius hanya memberikan satu alasan yang mendorongnya untuk berbuat demikian, yakni agar ia dapat hidup dengan lebih aman dan memelihara garis keturunannya, sekalipun kita dapat memahami dengan baik alasannya, kita akan percaya ia masih memiliki alasan lain yang dengan menghindari pengawasan, ia memiliki sebuah kesempatan lebih baik untuk menghancurkan raja dan membebaskan negaranya saat kesempatan tersebut muncul. Dan apa yang sesungguhnya dipikirkannya dapat terlihat, pertama, dari interpretasinya atas ramalan Apollo, ketika ia lebih suka untuk tunduk menyembah dan mencium bumi, berharap dapat mengambil hati para dewa demi rencananya; dan setelah itu, ketika Lucretia meninggal, di tengah-tengah ayah, suami, dan kerabatnya yang lain, dialah orang pertama yang menarik pisau dari dadanya dan membuat semua orang yang hadir bersumpah sejak saat itu untuk tidak memperbolehkan satu orang pun menjadi raja di Roma.
Semua orang yang tidak puas dengan hukum mereka akan mengambil sebuah pelajaran dari contoh Brutus ini; mereka akan mengukur dan menimbang baik-baik kekuatan mereka, dan jika cukup kuat untuk menyatakan diri sebagai musuhnya dan memulai perang melawan penguasa, maka mereka akan berusaha dengan segala cara memenangkan persahabatan dengannya, dan untuk tujuan ini ia menggunakan semua cara yang mungkin, seperti menyetujui cita rasanya dan memberikan segala sesuatu yang memberinya kesenangan. Keintiman seperti itu akan menjamin kekeliruan Anda tidak mengundang bahaya apa pun, dan memampukan Anda berbagi kesenangan yang berasal dari nasib baik penguasa, sehinggga pada saat yang sama dapat memberi Anda dukungan untuk memuaskan dendam Anda.
Benar, beberapa orang berkata bahwa orang seharusnya tidak terlalu dekat dengan penguasa karena akan terlibat juga dalam keruntuhannya, tetapi juga tidak jauh darinya agar ketika ia runtuh, Anda dapat mengembangkan keberuntungan Anda sendiri. Jalan tengah ini tidak diragukan lagi merupakan hal terbaik yang dapat dikejar, tetapi saya percaya hal-hal yang telah digambarkan di atas mustahil untuk dilakukan—Anda harus menjauh sepenuhnya dari penguasa, atau melibatkan diri Anda dengan sangat dekat padanya; dan siapa pun yang berusaha dengan cara lain yang sama sekali berbeda mengundang bagi dirinya sendiri bahaya yang konstan. Perkataan seperti ini, ”Saya tidak peduli pada apa pun; saya tidak menginginkan kehormatan atau kekayaan; semua yang saya inginkan hanyalah hidup dengan damai tanpa masalah," juga tidak benar baginya—karena alasan-alasan seperti itu tidak akan diterima.
Manusia yang hidup dengan menyesuaikan pada kondisi tidak dapat memilih
cara hidup, bahkan jika mereka memilihnya dengan sukarela tanpa ambisi
apa pun, mereka tidak akan dipercaya; dan ketika berusaha melakukannya,
mereka tidak akan diizinkan.
Maka dari itu, nasihat ini berguna bahwa pada saat-saat itu lebih baik berpura-pura bodoh, seperti yang dilakukan Brutus; dan hal ini cukup mudah dilakukan, seperti rnemuji-muji, berbincang-bincang, mengamati, dan melakukan hal-hal yang bertentangan dengan cara berpikir Anda, demi hanya sekadar menyenangkan penguasa. Dan seperti telah saya katakan mengenai kecerdasan Brutus dalam memulihkan kebebasan Roma, izinkan saya menceritakan kekejaman yang dilakukannya untuk mempertahankan kekuasaannya.
Sumber : http://icanjambi.blogspot.com___ Niccolo Machiavelli ── DISKURSUS, Bab II, Halaman 310-312, Cetakan Pertama, Agustus 2003, Penerbit Bentang Budaya, Yogyakarta
CATATAN NAJWA - Belajar Dari Guru Bangsa Tjokroaminoto
Jika sejarah menjadi guru kebijaksanaan, tokoh sejarahlah yang mengkongkritkan keteladanan.
Bukan hanya teladan kesuksesan, tapi juga kegagalan dan pergerakan yang dicetuskan.
Tokoh sejarah memercikkan api inspirasi, hanya jika dipelajari secara rinci.
Sejarah akan menjadi dogma, andai dibaca dengan cara yang biasa.
Riwayat Tjokro amatlah kaya warna, diwarnai sengkarut kuasa dan pertikaian yang tak biasa.
Dari seorang Ratu Adil yang diharapkan, hingga pemimpin partai yang terlibat pertikaian.
Tapi Tjokro jadi simpul yang mempertemukan, berbagai aliran kebangsaan di hari kemudian.
Rumah Tjokro menjadi perguruan, tempat pejuang muda ditempa berbagai pelajaran.
.Di sana pikiran dikembangkan, keberanian dinyalakan perjuangan akhirnya dikobarkan.
Tjokro dan rumahnya menjadi teladan, tentang senioritas yang menghidupkan dan bukan mengkerdilkan.
Langganan:
Postingan (Atom)