Senin, 22 November 2021

 



Berikut jawaban kuis 1.a.1. Miskonsepsi Konsep Dasar Literasi Numerasi Guru Belajar Seri Literasi dan Numerasi :

1. Ada pandangan yang mengemukakan bahwa tradisi bertutur yang telah mengakar, tumbuh dan berkembang di masyarakat adalah menghambat literasi membaca (reading literacy) utamanya minat, kegemaran dan budaya membaca masyarakat. Bagaimana menurut bapak dan ibu mengenai hal ini?

Kelisanan dan literasi sering diurutkan dalam sebuah kontinuum yang linear. Seolah ketika sebuah bangsa memasuki era literasi atau memiliki perilaku literat, mereka telah menanggalkan budaya kelisanan (Dewayani, 2017; 16). Apabila ditelusuri lebih jauh, masyarakat zaman ‘kuno’ sebelum muncul huruf alfabet (abjad), mereka terbiasa mengemukakan ide maupun berkomunikasi secara lisan. Dari generasi ke generasi, karya intelektual diantara mereka diwariskan melalui tradisi dan budaya bertutur (orality). Kemampuan dan keterampilan retorika justru merupakan suatu kebanggaan dan keunggulan yang menggambarkan tingkat kecerdasan yang dimiliki. Orality bukan merupakan kebiasaan bangsa Indonesia saja tetapi juga bangsa Arab yang dikenal dengan ummi (tidak membiasakan membaca dan menulis) (al Alusi, t.t.; 38-48)  dan bangsa Yunani dan Romawi. Ternyata tidak secara otomatis, suatu masyarakat yang terbiasa menggunakan lisan dan belum mengembangkan -secara formal- kebiasaan membaca dan menulis dapat dijuluki illiterate. Meski pengertian asal literasi adalah kemampuan untuk membaca dan menulis (ability to read and write), sehingga karenanya masyarakat yang mempraktekkan membaca dan menulis dikenal sebagai literate society, namun bukan berarti mereka yang masih menggunakan bahasa lisan bisa dituding tidak literat. Relasi antara tradisi bertutur (orality) dan literasi, sangat kompleks dan harus dipandang secara komprehensif  (Harris, 1991, Thomas, 1992, Ong, 2002). Cara pandang ini yang harus kita pergunakan untuk memahami hubungan tradisi dan budaya lisan dengan literasi (dalam artian, membaca dan menulis) pada konteks masyarakat dan sosial budaya Indonesia sehingga tidak lagi muncul pendapat yang menyatakan bahwa rendahnya minat baca masyarakat kita disebabkan karena adanya kebiasaan bertutur (orality). Jika ditinjau dari keterampilan berbahasa (language skills), justru terdapat hubungan yang sangat erat antara kecakapan berbahasa lisan dengan kesiapan membaca. Pengetahuan mendalam yang menarik bagaimana murid-murid memperoleh pengetahuan awal mereka mengenai kerja literasi didapatkan dari proses-proses yang mana mereka mempelajari bahasa lisan (spoken language) (Ray dan Medwell, 1991;70-71). Semakin kaya murid-murid mendapatkan keluasan dan keragaman kosa kata, ujaran yang jelas dan lancar, kian melengkapi kekayaan bahasa mereka secara kognitif untuk mendukung kesiapan keterampilan membaca mereka. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Anderson, 1985; 21-22). Pengalaman-pengalaman cerita memiliki signifikansi yang tinggi di dalam kehidupan kita dan di dalam perkembangan literasi, terutama murid-murid mendapatkannya dari cerita-cerita. Narasi bahkan menjadi aktivitas bahasa paling tua dan paling dasar (Whitehead, 1990, 97-98). 

Dari berbagai penelitian memperlihatkan bahwa secara umum berbahasa lisan turut melengkapi suatu latar belakang pengalaman yang menguntungkan serta keterampilan bagi pembelajaran membaca. Kemampuan itu meliputi ujaran yang jelas dan lancar, diksi yang luas, dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap dan sempurna jikalau diperlukan, perbedaan pendengaran yang tepat, dan kemampuan mengikuti serta menelusuri perkembangan urutan suatu cerita, atau menghubungkan aneka peristiwa dalam urutan yang wajar. Sesungguhnya penumbuhan budaya keaksaraan adalah dimulai dari keluarga. Ini yang lazim disebut emerging literacy. Emergent literacy menganggap bahwa perkembangan bahasa lisan tidak merupakan prasyarat untuk perkembangan bahasa tulis. Keduanya justru berkembang serentak dan saling mendukung dan mempermudah. Penumbuhan budaya keaksaraan ini dapat dilakukan melalui percakapan orang tua dan murid, mendengarkan, dan bercerita (Akhadiah, 1998; 33-35). 

Di rumah, murid-murid memperoleh konsep untuk memahami sesuatu, kejadian, pikiran dan perasaan serta kosa kata bahasa lisan untuk mengekspresikan konsep-konsep tersebut. Mereka mendapatkan tata bahasa (grammar) dasar bahasa lisan (oral language). Banyak murid mempelajari sesuatu mengenai bentuk-bentuk cerita, bagaimana bertanya dan menjawab pertanyaan, dan bagaimana menerima sedikit ataupun kadang-kadang banyak berupa huruf-huruf dan kata-kata. Perkembangan awal pengetahuan mempersyaratkan membaca datang dari pengalaman berbicara dan belajar tentang dunia. Membaca tergantung pada pengetahuan yang luas. Pengalaman yang luas semata adalah tidak cukup. Ada cara yang mana orangtua berbicara ke murid-murid mereka tentang suatu pengalaman yang mempengaruhi pengetahuan apa yang murid-murid peroleh dari pengalaman itu dan kemampuan mereka berikutnya untuk menggambarkan perihal pengetahuan tersebut ketika membaca. Berbicara mengenai pengalaman akan memperluas stok konsep-konsep dan asosiasi kosa kata murid-murid (Suprajogo, 2020).

2. Di masyarakat terdapat tuntutan bahwa murid-murid usia dini harus diajarkan membaca, menulis dan berhitung (calistung). Tepatkah untuk memperoleh keterampilan dan kecerdasan literasi, mereka harus diajarkan calistung?

Sebenarnya murid usia dini yang terpenting adalah ditumbuhkan minat, kegemaran dan budaya literasinya. Mereka bisa belajar membaca, menulis dan berhitung dengan cara yang menyenangkan dan tidak dipaksa.  Pandangan tentang murid usia dini harus bisa calistung dipicu oleh tuntutan saat memasuki  sekolah dasar. Secara formal, kurikulum PAUD/TK memang tidak mengajarkan adanya aktivitas calistung (membaca, menulis dan berhitung). Namun terdapat anggapan  bahwa murid yang tidak bisa calistung maka akan menjumpai  kesulitan ketika memasuki jenjang SD. Alasan yang dikemukakan, diantaranya adalah kompleksitas teks pelajaran di SD dan untuk memahaminya setiap murid dituntut bisa calistung.

Pada beberapa sekolah bahkan kemampuan calistung menjadi pra-syarat masuk  sekolah dasar. Selain itu pembelajaran di sekolah dasar kelas awal hingga soal-soal ujian formatif maupun sumatif murid sekolah dasar didesain untuk murid yang sudah bisa membaca dan menulis. Di masyarakat, kita dengan mudah menjumpai PAUD maupun TK yang mempromosikan kelebihan sekolahnya memiliki program baca tulis dan menggaransi ketika murid lulus bisa calistung, justru banyak diminati. Berawal dari pola pikir orangtua ini, seringkali guru hanya fokus mengembangkan potensi akademik (calistung) pada peserta didik, sehingga ada yang kecenderungan untuk mengabaikan berbagai potensi non akademiknya. Para guru dengan tuntutan ini sering dihadapkan kepada dua pilihan. Memilih mengikuti selera pasar atau bertahan pada idealisme pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tahapan perkembangan murid (developmentally appropriate practice).

Mengikuti penumbuhan budaya keaksaraan sejak dari rumah. Belajar membaca dan menulis tidak memerlukan pelajaran privat khusus. Alih-alih melalui pembelajaran langsung dan formal, murid-murid mempelajari bahasa tulis melalui interaksi dengan orang dewasa dalam situasi keaksaraan, dengan menjelajah sendiri berbagai tulisan. murid melalui pengamatan terhadap orangtuanya, menggunakan bahasa tulis untuk berkomunikasi. Mereka ‘mempelajari’ bahasa tulis dengan cara alamiah seperti dalam mempelajari bahasa lisan (Pappas, 1995; 19 dalam Akhadiah, 1998; 35)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar